Kamis, 03 September 2009

Seniman Dari Bandung

Tisna Sanjaya

Tisna Sanjaya dilahirkan di Bandung pada tahun 1960. Bakat seni Tisna terlihat sejak kecil. Ia sering menggambar di tembok-tembok rumah. Kendati orangtuanya pedagang ayam namun mereka sangat mendukung bakat seninya. Ini karena lingkungan rumahnya tak jauh dari kesenian.

Waktu SMP, dia juara menggambar di sebuah lomba yang diadakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Meski juara satu, nilai menggambar di rapornya mendapat lima. Ini karena ada temannya yang menukar dengan paksa gambarnya ketika ujian untuk dinilai, sehingga gambar jelek temannya itulah yang diterimanya.

Masa sekolah banyak dihabiskannya di Jalan Braga, pengagum lukisan-lukisan Chan Tanjung, Rusli, dan karya-karya Moi Indie lainnya. Bahkan lukisannya yang memenangkan lomba BKKBN meniru gaya Rusli. Berkuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan seni rupa selama dua tahun dan dilanjutkannya ke ITB selama 1979-1986. Di ITB inilah ia berkenalan dengan dunia happening art dari kelas eksperimen kreatif yang diajarkan G. Sidharta.

Setelah menyelesaikan S2-nya di Jerman, ia meneruskan program lanjutan untuk S3 di tempat yang sama pada 1997-1998. Sejak lulus dari Seni Rupa ITB (1986) Tisna sangat produktif berkarya dan aktif berpameran baik tunggal maupun kelompok. Karena aktivitas dan intensitas berkaryanya, serta terobosan kreativitasnya sosok Tisna Sanjaya dan karya-karyanya banyak mengundang perhatian dan kupasan para pengamat seni rupa di Indonesia.

Seniman Utopia,

Akrilik charcoal diatas kanvas,

130 x 120 cm, 2008

Wacana berkarya yang dikembangkan Tisna banyak ditanggapi, diikuti dan dinegasi oleh seniman-seniman lainnya terutama generasi yang lebih muda. Sejak 1995-an Tisna banyak mendapat perhatian dari para pengamat seni rupa Indonesia dan bahkan internasional karena karya-karyanya banyak mengungkapkan tema-tema kepincangan sosial dan politik di Indonesia, terutama semasa Soeharto masih berkuasa. Karya-karya Tisna pada masa itu cenderung ke seni abstrak yang menjauhkan diri dari realitas sosial dan lebih berorientasi pada persoalan dalam diri (mikrokosmos) senimannya, atau tema-tema yang universal.

Tisna melakukan terobosan dengan mendobrak tradisi formalisme seni grafis di ITB, dengan mulai membuat karya-karya bertema permasalahan sosial politik di Indonesia. Dari semua itu tampaknya yang masih tetap ia perjuangkan adalah perlawanan terhadap kekerasan.

Tisna juga selalu perduli terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kemanusiaan. Seperti ia menyertakan karyanya didalam pameran solidaritas untuk sang empu tari Mimi Rasinah”yang terbaring sakit serta korban musik Underground di bandung 2008. Selain aktif dalam senirupa, Tisna juga di daulat memerankan sosok kabayan dalam acara di televisi setempat di Bandung, STV yang mengangkat kenyataan sehari-hari yang dialami warga. Ia tertarik memerankan tokoh kabayan karena sejak kecil ia suka kabayan selain Batman, Zoro, dan tarzan. Ia ingin memerankan tokoh Zoro sang pembela rakyat yang tertindas dalam konteks di tatar Sunda.


Nama :

Tisna Sanjaya

Lahir :

Bandung, Jawa Barat

28 Januari 1958

Pendidikan :

Jurusan Seni Rupa

IKIP Bandung,

Jurusan Seni Rupa

ITB Bandung (1979-1986),

Diplom Freie Kunsthochschule Fuer Bildende Kuenste Braunscheweig (1991-1994),

Meister Schueler by Prof. Karl-Christ Schulz (DAAD fellowship) HBK Braunschweig Jerman (1997-1998)

Profesi :

Seniman,

Pengajar di ITB

Penghargan :

Program artist in residencies di HBK Braunschweig Jerman

(1987-1988),

Program artist in residencies di National Art Gallery

Kuala Lumpur, Malaysia (1989),

Program artist in residencies di Utrecht, Belanda (1996),

Program artist in residencies di Ludwig Forum for International Art Aachen, Jerman (2001)

Seniman Indonesia Djoko Pekik

Djoko Pekik

Nama :

Djoko Pekik

Lahir :

Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah,

2 Januari 1937

Pendidikan :
Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta (1957-1962











Djoko Pekik mendapat julukan pelukis satu miliar, karena lukisannya, Indonesia 1998 Berburu Celeng, terjual seharga Rp 1 miliar dalam satu pameran di Yogyakarta, tahun 1999. Berburu Celeng bersama dua lukisan lain, Susu Raja Celeng (1996) dan Tanpa Bunga dan Telegram Duka Cita 2000, merupakan sebuah trilogi. Trilogi ini merupakan lukisan yang paling berkesan baginya diantara 300 karya lukisnya.

Cita-citanya waktu kecil ingin jadi lurah kaya dan punya gamelan. Walau tak jadi lurah, ia sudah dapat membeli dua perangkat gamelan. Djoko Pekik—yang artinya pemuda tampan—sebenarnya tak mewarisi darah seni dari orangtuanya. Senang melukis sejak kecil, ia sendiri menyebut dirinya berbakat kesasar. Ayah dan ibunya petani, yang buta huruf dan tinggal di tengah hutan jati di daerah Purwodadi, Jawa Tengah. Djoko kecil juga senang bermain sandiwara. Ketika memerankan tokoh Kelenting Kuning dalam Ande-Ande Lumut, ia menggambar sendiri pakaian tokoh yang dimainkannya.

Tak lulus SD dan pendidikan menengah, bungsu dari 12 bersaudara ini—melanjutkan sekolah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta, 1957-1962. “Namun kematangan melukisnya bukan di ASRI tapi di Sanggar Bumi Tarung. Karena di ASRI saya anggap hanya belajar teknik melukis,”ujarnya. Sanggar Bumi Tarung merupakan sanggar seniman yang anggota-anggotanya berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonsia (PKI). Tahun 1964, saya sudah menjadi pelukis terkenal,”kata Djoko. Peristiwa G30/S 1965, mengakibatkan banyak kader PKI dan ormas-ormasnya, termasuk Lekra, ditangkap dan dipenjarakan.

Awal Bencana di Lintang Kemukus 1965 (2003)

cat minyak diatas kanvas, 115 X 140

Djoko sendiri ditahan dari 8 November 1965 sampai 1972 di Penjara Wirogunan, Yogyakarta. Selama di penjara, saya vakum melukis,”ujar ayah dari delapan anak ini. Ia merasa beruntung tidak mati karena kelaparan dan siksaan, walau pendengarannya sedikit terganggu karena sering dipukul dengan popor senjata. Selepas dari penjara, bahkan sampai tahun 1990, ia masih dikucilkan oleh saudara, tetangga, dan sesama seniman yang berhaluan lain.

Menikah dengan C.H. Tini Purwaningsih yang terpaut 14 tahun pada tahun 1970, saat masih berstatus tahanan kota. Setelah menikah, 1970-1987, untuk menyambung hidup, Djoko menjadi tukang jahit. Tapi profesi ini tak membuat kehidupan ekonomi keluarganya mantap. Nasib baik akhirnya datang juga. Suatu ketika karya-kartanya dijadikan bahan penelitian untuk disertasi pelukis Astari Rasyid, yang kemudian dibaca oleh kenalan-kenalannya dari luar negeri. Pada tahun 1989, Djoko diikutkan dalam pameran di Amerika, yang diprotes banyak seniman Indonesia karena status tahanan politiknya.

Beritanya masuk koran dan majalah, yang justru membuatnya makin terkenal. Sejak itulah para kolektor memburu lukisannya. Sampai suatu ketika ia tak mau menjualnya lagi, karena tamu-tamunya dapat setiap saat melihat dan mengaguminya. Lukisannya oleh banyak kalangan pengamat dinilai berbeda antara satu dan lainnya. Padahal, ia mengaku bahwa teknik lukisnya dari dulu sampai sekarang sama saja.

Karena kepahitan yang pernah dialaminya sebagai pelukis, Djoko tidak mengarahkan anak-anaknya menjadi pelukis. Selain itu, ia merasa kalau seorang ayah pelukis, bila anak-anaknya juga jadi pelukis, mereka tak akan mampu melebihi sang ayah. Kini ia menempati rumah yang “menyatu” dengan alam, dengan tiga bangunan bertingkat yang besar, lengkap dengan ruang gamelan pribadi dan umum, ruang keluarga, galeri, dan studio.